Banyak yang sudah mengenal siapa
Jusuf Kalla, namun hanya segelintir yang tahu siapa Hadji Kalla ayah Jusuf
Kalla dan pendiri perusahaan PT. Hadji Kalla yang mampu bertahan lebih dari 5o
tahun.
Kita banyak memiliki alasan-alasan
yang membenarkan kegagalan kita dalam berusaha…,
Namun setelah membaca buku biografi
Hadji Kalla saya tersentak, bahwa seorang anak manusia biasa dari lingkungan
yang biasa, serta dari tingkat pendidikan yang biasa namun dapat menjadi
teladan bagi banyak orang….
Kita beralasan…Kita tidak mampu
karena tanpa adanya bantuan dari orang tua, kerabat, atau pemerintah. Tapi
ternyata Hadji Kalla adalah seorang yatim sejak usia 3 tahun, namun mampu
menjadi pengusaha yang sukses tanpa bantuan dari seorang ayah, tanpa kerabat
yang kaya, tanpa pemerintahan yang mendukung yang tentunya pemerintahan jaman
dulu masih sangat tertinggal dengan sistem pemerintahan sekarang. Jadi bisnis
yang dikembangkannya benar-benar adalah bisnisnya sendiri, dimulai dari nol….
Kita banyak beralasan tidak mampu membuat perusahaan karena minimnya pendidikan, namun Kalla muda dapat berhasil walaupun beliau sendiri tidak mampu menamatkan SDnya…Luar Biasa!!
Kita banyak beralasan tidak mampu membuat perusahaan karena minimnya pendidikan, namun Kalla muda dapat berhasil walaupun beliau sendiri tidak mampu menamatkan SDnya…Luar Biasa!!
Kalla muda tinggal dan berjualan di
sebuah kios di pasar Bajoe di sebuat kabupaten kecil Sulawesi Selatan. Jadi
konsep SOHO, small office home office ataupun RUKO sudah dilakukan oleh
orang-orang tua kita dulu, untuk menghemat biaya hidupnya. Dan ternyata dengan
tinggal dan berbisnis dari rumah dapat menghemat biaya yang besar dan
uang yang dapat dihemat bisa dibuat untuk pengembangan usahanya…Ya beliau
menyerahkan usahanya PT. Hadji Kalla kepada penerusnya tanpa hutang satu sen
pun (Buku: Hadji Kalla Saudagar dari Mesjid)
60 Tahun Kalla Group: Mengenal Hadji Kalla dan Athirah
Tahun 2012 adalah tahun dimana Kalla
Group, kelompok perusahaan milik Hadji Kalla dan keturunannya, genap berusia 60
tahun. Untuk itu, penulis akan menyajikan tulisan-tulisan dan foto-foto perihal
Kalla Group sedetil mungkin. Hanya untuk Kompasiana.
Sebagai tulisan pertama, penulis
menyajikan profil Hadji Kalla dan Athirah, suami-istri yang merintis Kalla
Group 18 Oktober 1952 silam. Selamat membaca, semoga bermanfaat!
Hadji Kalla
Hadji Kalla
Kalla lahir tahun 1920 di kampung Nipa, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Sejak umur tiga tahun, dia sudah hidup meyatim karena ayahnya meninggal dunia. Keadaan itu membuatnya tumbuh sebagai laki-laki mandiri dan berjiwa usaha. Motivasi untuk menggantikan peran ayah bergejolak di dalam jiwanya.
Kemandirian dan jiwa usaha Kalla
dibuktikan dengan ikut-ikutan berdagang bersama temannya. Karena rajin dan
ulet, dia pun memperoleh hasilnya pada usia 15 tahun dengan memiliki kios
sendiri di pasar Bajoe di Watampone, ibukota Kabupaten Bone.
Sebagai pedagang, Kalla sangat hemat
dan rajin menabung. Uang hasil berdagang ditabungnya sedikit demi sedikit.
Hingga pada 1936, dia bersama rombongan keluarganya menunaikan ibadah haji ke
Mekkah mengunakan kapal penumpang milik pemerintah Belanda.
Sepulang dari tanah suci, Kalla
memperbaiki tampilan kiosnya dan mengembangkan usaha dagangnya. Dia juga akrab
dipanggil Hadji Kalla oleh teman-temannya. Panggilan itu pun melekat pada
namanya dan menjadi identitas dirinya.
Athirah
Athirah
Athirah lahir tahun 1924 di kampung Bukaka, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Ayahnya Muhammad adalah Kepala Kampung dan mantan penasehat Kerajaan Bone. Ibunya Hj. Kerra adalah seorang pedagang kecil-kecilan sekaligus ibu rumah tangga.
Athirah lahir tahun 1924 di kampung Bukaka, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Ayahnya Muhammad adalah Kepala Kampung dan mantan penasehat Kerajaan Bone. Ibunya Hj. Kerra adalah seorang pedagang kecil-kecilan sekaligus ibu rumah tangga.
Athirah hidup sederhana dalam
keluarga yang ekonominya pas-pasan. Karena pas-pasan itu, Athirah hanya
mengenyam pendidikan sampai tingkat SD. Sehari-hari, Athirah bekerja
membantu ibunya berdagang dan melakukan pekerjaan rumah tangga: menyapu,
mencuci, dan menyiapkan makanan di dapur.
Perjodohan Hadji Kalla-Athirah
Madeng, kakek Hadji Kalla, bersahabat baik dengan Muhammad, ayah Athirah. Keduanya pun memrakarsai perjodohan antara Hadji Kalla dengan Athirah. Hadji Kalla setuju dengan hal tersebut; Athirah sendiri hanya bisa pasrah dan berdoa kepada Tuhan semoga dia diberi suami yang saleh, bertaqwa, dan bertanggungjawab kepada keluarga.
Madeng, kakek Hadji Kalla, bersahabat baik dengan Muhammad, ayah Athirah. Keduanya pun memrakarsai perjodohan antara Hadji Kalla dengan Athirah. Hadji Kalla setuju dengan hal tersebut; Athirah sendiri hanya bisa pasrah dan berdoa kepada Tuhan semoga dia diberi suami yang saleh, bertaqwa, dan bertanggungjawab kepada keluarga.
Pada 1937, di umurnya yang ke-17
tahun, Hadji Kalla menikah dengan Athirah yang baru berumur 13 tahun.
Nikah muda memang menjadi kebiasaan orang-orang di kampung jaman dulu.
Menjalankan Usaha Bersama
Selanjutnya, untuk memenuhi kebutuhan hidup, Hadji Kalla dan Athirah menjalankan usaha bersama dengan mengembangkan kios mereka di Pasar Bajoe. Jiwa dagang Athirah yang diwarisi dari ibunya sangat membantu Hadji Kalla.
Selanjutnya, untuk memenuhi kebutuhan hidup, Hadji Kalla dan Athirah menjalankan usaha bersama dengan mengembangkan kios mereka di Pasar Bajoe. Jiwa dagang Athirah yang diwarisi dari ibunya sangat membantu Hadji Kalla.
Pada 1950, seiring kemajuan usaha,
Hadji Kalla dan Athirah membuka Toko Sederhana di Jalan Wajo, Watampone. Toko
tersebut menjual barang kebutuhan pokok dan pakaian: baju, celana, sarung, dan
lainnya. Kesibukan keduanya pun bertambah karena di sisi lain juga harus
merawat dan menjaga tiga anak mereka yang masih kecil: Nuraini Kalla, Muhammad
Jusuf Kalla, dan Zohrah Kalla.
Merantau ke Makassar
Sukses berdagang di kampung, Hadji Kalla dan Athirah memberanikan diri merantau dan berdagang ke Makassar membawa tiga anak mereka. Masa awal di Makassar, keduanya menginap di Hotel Capitol di jalan Riburane, samping stasiun RRI Makassar.
Sukses berdagang di kampung, Hadji Kalla dan Athirah memberanikan diri merantau dan berdagang ke Makassar membawa tiga anak mereka. Masa awal di Makassar, keduanya menginap di Hotel Capitol di jalan Riburane, samping stasiun RRI Makassar.
Keputusan merantau ke Makassar
dirasa sangat tepat karena pada masa itu terjadi gerakan nasionalisasi
perusahaan Belanda. Hadji Kalla pun tidak mau ketinggalan, dia juga membeli
tujuh Firma warisan Belanda.
Pada 18 Oktober 1952, Hadji Kalla
mendirikan perusahaan bernama NV Hadji Kalla Trading Company. Perusahaan ini
bergerak di bidang perdagangan, tekstil, ekspor-impor, dan jasa transportasi.
Dia mengembangkan usaha tersebut dibantu teman-temannya, diantaranya Hadji
Saebe.
Lama kemudian, setelah perusahaan
maju, Hadji Kalla membeli satu petak rumah toko (ruko) di jalan Pelabuhan
(sekarang jalan Martadinata). Ruko itu kemudian berfungsi sebagai kantor NV
Hadji Kalla Trading Company sekaligus rumah tinggal Hadji Kalla dan keluarganya
di Makassar.
Hasil usaha yang maju juga dipakai
Hadji Kalla untuk berinvestasi. Investasi andalannya adalah membeli tanah di
beberapa daerah di Makassar, seperti di jalan Andalas, di daerah Bulorokeng,
Sudiang, dan beberapa daerah lainnya.
Sang istri Athirah juga tidak mau
ketinggalan. Jiwa dagang membuatnya turut menjalankan usaha sendiri. Jual beli
sarung sutra dan perhiasan menjadi pilihannya. Rumah di jalan Andalas
dijadikannya sebagai toko. Selain itu, dia juga menjalankan usaha rental mobil.
Pada 1960-an, ketika Indonesia
mengalami krisis, bisnis Hadji Kalla turut mengalami krisis dan bahkan tidak
berjalan sama sekali. Di saat sulit seperti itu, usaha dari istrinya Athirah
menjadi penopang hidup keluarga.
Di Makassar pula, delapan anak Hadji
Kalla dan Athirah lahir, melengkapi tiga anak yang sebelumnya lahir di
Watampone sehingga semuanya berjumlah 10 orang: Nuraini Kalla, Muhammad Jusuf
Kalla, Zohrah Kalla, Salman Kalla, Achmad Kalla, Suhaely Kalla, Ramlah Kalla,
Halim Kalla, Faridah Kalla, dan Fatimah Kalla.
Gaya Hadji Kalla sebagai Pengusaha
dan Pedagang
Hadji Kalla sangat menekankan kejujuran dan keberagamaan dalam berdagang. Hal itu juga diterapkan kepada karyawannya. Baginya, karyawan harus jujur dan rajin menunaikan ibadah shalat lima waktu. Dengan begitu, karyawan bisa terdidik untuk menjadi terpercaya.
Hadji Kalla sangat menekankan kejujuran dan keberagamaan dalam berdagang. Hal itu juga diterapkan kepada karyawannya. Baginya, karyawan harus jujur dan rajin menunaikan ibadah shalat lima waktu. Dengan begitu, karyawan bisa terdidik untuk menjadi terpercaya.
Hadji Kalla sangat memperhatikan
kesejahteran karyawannya. Dalam keadaaan apapun, gaji karyawan harus dibayar
sebelum tanggal satu. Bahkan terkadang dia harus memakai uang dapur istrinya
Athirah untuk menutupi gaji. Selain itu, dia juga membangunkan 120 rumah yang
kemudian dihibahkan kepada karyawan.
Hadji Kalla juga merupakan orang
yang hemat, dia mengajarkan anak-anaknya untuk berhemat sejak dari kecil. Namun
hemat bukan berarti tidak membayar pajak dan zakat. Pajak dan zakat selalu
dikeluarkan oleh perusahaannya.
Gaya Athirah sebagai Pengusaha dan
Pedagang
Athirah sangat menghargai pelanggan yang datang ke galerinya di jalan Andalas. Dia melayani tamunya dengan ramah dan telaten, bahkan selalu dijamu dengan menyediakan makanan dan minuman. Pelanggan Athirah datang dari Makassar dan bahkan dari Jakarta.
Athirah sangat menghargai pelanggan yang datang ke galerinya di jalan Andalas. Dia melayani tamunya dengan ramah dan telaten, bahkan selalu dijamu dengan menyediakan makanan dan minuman. Pelanggan Athirah datang dari Makassar dan bahkan dari Jakarta.
Athirah juga sangat memperhatikan
urusan penghitungan dan pembukuan. Dia bahkan mencatat pembukuannya dalam dua
huruf: Indonesia dan Lontara Bugis. Beliau menghitung hasil penjualannya setiap
hari menjelang tidur dan kemudian dimasukkan ke dalam brankas (peti uang) dan
dikelolanya sendiri tanpa campur tangan dari pihak lain termasuk Hadji Kalla
dan anak-anaknya. Catatan pembukuan dilakukannya setelah shalat Shubuh.
Athirah mampu menabung sebagian
keuntungan yang didapatkannya. Tabungannya inilah yang beberapa kali menjadi
penopang di saat perusahaan suaminya mengalami persoalan keuangan. Suatu
ketika, sebagai contoh, perusahaan Hadji Kalla sudah harus membayar ratusan
buruh yang bekerja di proyek. Namun, saat itu perusahaan belum memiliki dana
cukup karena menunggu dari pihak ketiga. Hadji Kalla kemudian menelepon
istrinya.
Mendapat kabar tersebut, Athirah
langsung menyediakan uang pribadinya untuk menalangi pembayaran gaji para buruh
tersebut. “Di saat bisnis menurun, usaha ibulah yang menopang hidup kami,”
kata Jusuf.
Sebagai pengusaha, usaha yang
dilakukan Athirah tidak selamanya berlangsung mulus, namun dia berusaha untuk
tetap tekun dan tegar. Beberapa kali dia terkena tipu oleh konsumen yang
mengambil barang dengan perjanjian kredit tetapi kemudian tidak membayar.
Namun, hal tersebut tidak
menyurutkan semangatnya untuk terus menekuni bisnisnya. Hal itu disimpannya
sendiri dan tidak diungkapkannya kepada Hadji Kalla dan anak-anaknya. “Ibu
tetap saja menjalankan bisnisnya seperti biasa dan optimistis bisa mendapatkan
hasil yang lebih baik. Sayangnya, tidak ada anak-anaknya yang melanjutkan
bisnis ibu,” ujar Halim.
Beberapa anak perempuan Athirah
mencoba mewariskan usahanya. Namun hasilnya tidak menggembirakan. “Tidak ada
yang bisa meniru sentuhan pribadi yang biasa dilakukan ibu dalam berhubungan
dagang,” ujar Jusuf.
Hadji Kalla dan Athirah sebagai
Orang Tua
Dalam mendidik anak, Hadji Kalla sangat menekankan pendidikan agama. Kebiasaan sholat lima waktu dan mengaji ditanamkannya kepada anak-anaknya. Dia bahkan bercita-cita kelak ada anaknya yang menjadi lulusan Universitas Al Azhar Mesir.
Dalam mendidik anak, Hadji Kalla sangat menekankan pendidikan agama. Kebiasaan sholat lima waktu dan mengaji ditanamkannya kepada anak-anaknya. Dia bahkan bercita-cita kelak ada anaknya yang menjadi lulusan Universitas Al Azhar Mesir.
Kepada Jusuf, Hadji Kalla
menginginkannya untuk menjadi ustad atau kiai. Jusuf pun dimasukkannya ke
sekolah pendidikan Islam Datumusseng Makassar. Namun kemudian, Jusuf lebih
tertarik belajar di bidang bisnis dan ekonomi. Jusuf menyelesaikan S1 ekonominya
di Universitas Hasanuddin Makassar.
Salman juga diminta Hadji Kalla
untuk masuk IAIN agar bisa mengabdi untuk kepentingan orang banyak di bidang
agama. Namun Salman lebih memilih untuk menjadi dokter. Dia menyelesaikan
sekolah kedokterannya di Universitas Hasanuddin Makassar.
Achmad tidak diarahkan oleh ayahnya
ke sekolah pendidikan agama karena sejak kecil dia sudah suka
membongkar-bongkar sepeda dan sepeda motor. Dia pun disekolahkan ke jurusan
teknik di Institut Teknologi Bandung.
Harapan muncul pada Suhaely. Begitu
tamat Sekolah Dasar, dia dimasukkan ke pesantren di Sengkang. Selanjutnya, dia
dibawa ke Pesantren Gontor Ponorogo hingga menamatkan tingkat Aliah di sana.
Dia diharapkan meneruskan belajar ke Universitas Al-Azhar di Mesir. Untuk itu,
Suhaely harus melakukan persiapan dengan kuliah dulu di IAIN Makassar. Namun,
setelah pindah ke Jakarta, Suhaely memilih sekolah bisnis dan ekonomi di sebuah
perguruan tinggi swasta.
Halim, sama seperti Achmad, tidak
diarahkan ke sekolah agama. Dia pun lebih memilih menyelesaikan pendidikannya
di sekolah bisnis dan ekonomi di Buffalo University, Amerika Serikat.
Akhirnya, tidak ada satu pun anak
laki-laki Hadji Kalla yang lulus di perguruan tinggi bidang agama. Keinginannya
untuk memiliki anak tamatan Universitas Al-Azhar Mesir pun tidak kesampaian.
Hampir semua anak Hadji Kalla
menamatkan pendidikannya di tingkat Universitas, hanya Zohrah dan Siti Ramlah
yang tidak menyelesaikan kuliah. Zohrah berhenti di tengah jalan; Ramlah putus
karena menikah dengan Aksa Mahmud, teman Jusuf. Sementara yang lain berhasil
menamatkan sekolah mereka: Zohrah meraih Sarjana Ekonomi, Faridah meraih
Sarjana Teknik Elektro, dan Fatimah meraih Sarjana Farmasi.
Beda dengan Hadji Kalla, Athirah
memiliki jiwa keibuan yang kuat dalam mendidik anak-anak. Dia selalu berusaha
memastikan agar kebutuhan anak-anaknya terpenuhi. Dia juga selalu mendoakan
anak-anaknya dalam setiap sholatnya.
Salah satu kisah menarik adalah
ketika anaknya Salman akan berangkat mengikuti ujian dokter. Salman mendatangi
ibunya untuk berpamitan pergi ujian. Begitu Salman berangkat, ibunya pergi
shalat dan dilanjutkan dengan berdoa. Hal ini dilakukannya sampai Salman pulang
ujian dan memberitahu bahwa dia lulus menjadi dokter.
Sikap keibuan juga diberikan Athirah
terhadap teman-teman anaknya. Ketika Jusuf menjadi aktivis mahasiswa, misalnya,
banyak sekali temannya yang sering datang ke rumahnya. Bagian belakang rumah
ibarat menjadi posko bagi para mahasiswa. Terkadang datang juga aktivis
mahasiswa dari Jakarta seperti Mar’ie Muhammad dan Nurcholis Madjid.
Athirah memerhatikan kebutuhan
mereka, makanan dan minuman. “Rumahnya seperti kantor bagi aktivis mahasiswa
dan buka terus selama 24 jam,” kata Alwi Hamu, sahabat Jusuf sejak masih
mahasiswa. Hal ini juga diamini oleh teman-temannya yang lain seperti Herman
dan Anwar Guricci. Teman-teman Jusuf ‘tak pernah mendengar Athirah mengeluh
apalagi mengeluarkan kata-kata kasar.
Hadji Kalla, Athirah dan Organisasi
Hadji Kalla tidak pernah masuk dalam organisasi besar, dia cuma mengurusi masjid dan agama. Di kampung, dia menjadi bendahara Mesjid Raya Watampone. Pindah ke Makassar, dari tahun 1953 sampai meninggal, dia menjadi bendahara Masjid Raya Makassar. Dia juga membentuk pengkaderan ulama: sarjana dari IAIN Makassar direkrut dan dididik untuk menjadi ulama, pesertanya diberikan sejumlah fasilitas.
Hadji Kalla tidak pernah masuk dalam organisasi besar, dia cuma mengurusi masjid dan agama. Di kampung, dia menjadi bendahara Mesjid Raya Watampone. Pindah ke Makassar, dari tahun 1953 sampai meninggal, dia menjadi bendahara Masjid Raya Makassar. Dia juga membentuk pengkaderan ulama: sarjana dari IAIN Makassar direkrut dan dididik untuk menjadi ulama, pesertanya diberikan sejumlah fasilitas.
Beda dengan Hadji Kalla, Athirah
justru aktif di organisasi besar. Dalam bidang sosial, Athirah aktif dalam
kegiatan Aisyiyah (organisasi perempuan Muhammadiyah) Cabang Makassar. Sejak
tahun 1960, dia telah aktif mengikuti pengajian tafsir Al-Qur’an dan hadits di
bawah bimbingan Dra. Hj. Hadrah Makmur Ali di komplek perguruan Muhammadiyah
Cabang Makassar. Pada tahun 1965, Athirah menjadi pengurus Tabligh Aisyiyah
Cabang Makassar.
Tahun 1966, Athirah mengikuti
program sukawati (sukarelawati) Aisyiyah yang diadakan pimpinan wilayah
Sulselra di PHI Jalan Laiya Makassar. Sukawati dibentuk untuk menghadapi
Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) yang dibentuk Partai Komunis Indonesia
(PKI). Dalam kegiatan ini, Athirah berlatih militer, diantaranya bongkar pasang
senjata api dengan mata tertutup.
Sebagai pengurus Aisyiyah, Athirah
sangat disiplin waktu dan tidak pernah menolak atau berkomentar kalau diberi
tugas. Biasanya dia bertugas sebagai bendahara.
Banyak sumbangan yang diberikan
Athirah kepada Aisyiyah. Yang paling berkesan adalah pemberian tanah wakaf di
Kelurahan Bulorokeng, Kecamatan Biringkanaya, Makassar. Di atas tanah wakaf
seluas kurang lebih dua hektar itu kini berdiri kokoh Pondok Pesantren Puteri
Ummul Mukminin yang meliputi asrama, masjid, aula, laboratorium, perpustakaan,
ruang kelas, dan kantor. Masjid di komplek tersebut diberi nama sesuai dengan
namanya, Masjid Athirah.
Hadji Kalla dan Athirah Wafat
Athirah wafat tanggal 19 Januari 1982 karena sakit dan dimakamkan di pemakaman Arab daerah Bontoala Makassar.
Athirah wafat tanggal 19 Januari 1982 karena sakit dan dimakamkan di pemakaman Arab daerah Bontoala Makassar.
Sebagai tanda hormat dan cinta
keturunannya, nama Athirah diabadikan sebagai nama lembaga pendidikan yang
didirikan Kalla Group, yaitu Sekolah Islam Athirah. Nama kampungnya Bukaka juga
dijadikan nama perusahaan di Jakarta, Bukaka Group, yang kini dikelola oleh
Achmad dan Suhaely.
Sekira 86 hari kemudian setelah
wafatnya Athirah, tepatnya pada tanggal 15 April 1982, Hadji Kalla juga
menghembuskan nafas terakhirnya. Ribuan orang mengiringi jenazah Hadji Kalla
menuju pemakaman.dengan menggunakan sedan putih kesayangannya dengan cara di
dorong.
terima kasih untuk artikelnya. saya cukup menikmati dan terinspirasi membacanya. salam
BalasHapusSaya termasuk pengagum Haji Kalla. Semua anaknya religius dan mewarisi, meneruskan dan mengembangkan usaha Bapaknya. Banyak orang kaya, justru anak-anaknya menjadikan terpuruk bahkan kolaps. Keturunan Haji Kalla tidak ada demikian, bahkan sebaliknya.
BalasHapusSaya tahu persis kedalaman religiutas Haji Kalla, dia adalah Orang Kaya yang suka membelanjakan hartanya di Jalan Allah SWT, patut dicontoh beliyau, terutama dalam mendidik anak.
Artikelnya sangat menginspirasi .. Trims
BalasHapusPatut diteladani.dan memberikan inspirasi kpd kta semua.semoga beliu mendapatkan tempat disisi allah subahanahuwataala.amin...
BalasHapusHajdi Kalla seorang Saudagar dari Masjid (S.S.Ecpi,2002) jika tidak lain pastilah HK terinspirasi dari pribadi Muhammad Rasulullah SAW, Sang Rasul Allah yang masa belia sudah menjadi pebisnis ulung Entrepreneur Profetik dengan ciri perilaku utama SIDIQ, AMANAH, FATANAH, TABLIGH. Suatu model yang mesti jadi protype Muslimpreneur.... Salawat utk Rasulullah Muhammad SAW... doa keberkahan untu almarhum HADJI KALLA beserta almarhumah istrinya Hajjah ATHIRAH dan anak turun mereka..... Tabarakallah
BalasHapus